Dingin menusuk tulang.
Senja ini, kabut menyelimuti gunung  menjulang tinggi itu sementara sakit dan duka menyelimutiku saat ini.
Yaa..Burung-burung itu pun kembali ke peraduannya masing-masing, dan ku masih terpana memandang langit senja kala itu. Surya mulai malu menampakkan dirinya padaku, sementara itu boneka tuhan masih saja sibuk dengan titah mereka masing-masing.
mmm… sosok itu, mengingatkan aku pada ayah.  Sedang apa beliau disana, sudah lama aku tidak melihat wajahnya, sudah lama diriku tidak berceloteh dengannya.
mmm…IBu, tiga huruf yang terpatri dalam jiwa, yang selalu meluruskan niat, memberi  arah tuk ku melangkah memberi  semangat saat payah. Aku rindu pada kalian.
Sejenak  aku melihat sebuah keluarga mini yang begitu sejuk di pandang mata, seorang bapak yang sedang memakaikan peci kepada anak laki-lakinya seraya membetulkan lipatan sarung yang dipakainya, sang ibupun sedang menyiram bunga dihalaman rumahnya. Mereka berdua berpamitan untuk memenuhi panggilan tuhan..


Masjid Al-wustha, disinilah aku sering menghabiskan waktu senjaku menunggu panggilan sang pencipta, melihat langit senja dari bawah menara sambil mentakrir hafalanku.
 ‘’sudah wudhu nak ? (aku tersentak) Tanya seorang ibu paruh baya padaku. ‘’Oh, belum buk,’’.ujarku.  ‘’yuk, sebentar lagi azan  ’’ kata sang ibu seraya pergi meninggalkanku.
Ibu marlina, panggilan akrabku padanya. Aku sering melihatnya disini menghabiskan waktu magrib dan isya bersama para jamaah perempuan lainnya.
Dan saatnya aku beranjak pergi dari tempat dudukku sekarang, muazzin dengan lantang berkumandang dan akupun tidak ingin tertinggal darinya, karena sajadah panjang telah menantiku.

@uncertainty, Jeulingke 2011